Pertinesia Anggap Putusan Batas Usia Jadi Catatan Kelam Sejarah Putusan MK

0

SURABAYA, LNM – Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia (Pertinasia) menilai jika putusan batas usia menjadi catatan kelam sejarah putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Keputusan MK Nomor 90/2023 menjadi catatan kelam dalam sejarah putusan mahkamah konstitusi,” terang Ketua Pertinasia Prof Nugroho, Selasa (14/11/2023).

Seperti diketahui, kontroversi putusan MK sudah mendapatkan klarifikasi. Majelis Kehormatan MK (MKMK) menyebut jika Ketua MK Anwar Usman sebagai hakim terlapor, terbukti melanggar kode etik hakim.

Pelanggaran yang dimaksud sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.

Keputusan Majelis Kehormatan MK memberikan sanksi kepada Anwar Usman karena melanggar kode etik perilaku hakim konstitusi. Nugroho menjelaskan, putusan MKMK tidak akan mempengaruhi keberlakuan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Salah satu amar putusan dari MKMK adalah memutuskan Anwar Usman sebagai hakim terlapor melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.

MKMK memutuskan memberhentikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan Ketua MK, tidak berhak mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya berakhir.

Selain itu, tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pilpres dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.

“Keputusan tersebut menjadi pengalaman yang berharga bagi hakim konstitusi untuk terus mempertahankan sikap netralitas,” jelas Prof Nug sapaan Mulyanto Nugroho.

Fungsi MKMK sendiri adalah melakukan pengawasan terhadap kode etik dan perilaku Hakim MK dan bukan pada substansi putusan MK. Terlebih lagi dalam pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945 menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan binding

“Artinya secara hukum tidak ada upaya lain yang dapat ditempuh terkait dengan hasil amar putusan tersebut,” kata Rektor Untag Surabaya tersebut.

Dalam Putusan MKMK Nomor 02/MKMK/L/11/2023 tersebut, salah satu anggota MKMK yaitu Bintan R. Saragih memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Dissenting opinion tersebut menyatakan pemberhentian tidak dengan hormat kepada Anwar Usman sebagai hakim konstitusi yang disebabkan telah terbukti melakukan pelanggaran berat.

Sebagaimana diatur pada Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, pelaksanaan sanksi terhadap pelanggaran berat hanya pemberhentian tidak dengan hormat dan tidak ada sanksi lain.

Hal tersebut sangat berkaitan erat dengan reputasi peradilan dan keyakinan masyarakat terhadap independensi kehakiman. Sebagai benteng terakhir dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan, hal ini sangat dipengaruhi oleh integritas pribadi, kompetensi, dan perilaku hakim konstitusi saat menjalankan tugas untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara yang diajukan kepada mereka, demi mencapai keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

”Saya berharap bahwa melalui keputusan MKMK tersebut, kepercayaan masyarakat terhadap MK dapat secara bertahap pulih, terutama mengingat tugas berat yang akan diemban oleh MK pada tahun mendatang, yakni menangani perselisihan hasil Pemilu dan Pilkada,” terang Prof Nug lagi. (Dang)

Leave A Reply

Your email address will not be published.