Ketua DPD RI: Akar Masalah Bangsa Adalah Tirani Mayoritas Partai Politik

0

JAKARTA – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menyatakan jika akar masalah bangsa Indonesia adalah tirani yang menjadi mayoritas.

Hal itu disampaikannya saat memberikan keynote speech virtual di acara Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita dengan tema “Pemilu 2024: Jadi atau Ditunda?”, Minggu (20/3/2022) malam.

Hadir pada kegiatan itu Profesor Siti Zuhro, Hidayat Nur Wahid, Doli Kurnia Tanjung, Ahmad Baidowi, Profesor Nurliah Nurdin, Profesor Ali Munhanif, Burhanudin Muhtadi, Yohan Wahyu, Profesor Asep Saiful Muhtadi serta sejumlah tamu undangan lainnya.

LaNyalla mengatakan penundaan Pemilu 2024 penting untuk dibahas, meski masyarakat lebih tertarik membahas
minyak goreng.

Menurut LaNyalla, yang patut menjadi perhatian adalah kalimat Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, yang mengatakan “Kalau Partai Kompak, Jokowi Pasti Setuju”.

“Kalimat ini sangat penting untuk dicermati. Bagi saya, kalimat ini adalah salah satu permasalahan fundamental bangsa ini. Di mana
hegemoni partai politik, sekaligus tirani mayoritas partai politik di Senayan
adalah persoalan mendasar bangsa ini,” tegas LaNyalla yang hadir secara virtual.

Menurutnya, kalimat tersebut menunjukkan bagaimana negara ini bisa diatur suka-suka atas dasar kekompakan partai politik saja. “Asal partai kompak, mau apa saja pasti bisa,” katanya.

Hal itu sudah terbukti. Bagaimana secepat kilat partai melalui fraksi di Senayan menjadikan PERPPU sebagai Undang-Undang.

“Bagaimana DPR tidak secara luas melibatkan publik dalam membahas
Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang, meskipun banyak
pakar dan akademisi serta masyarakat yang menyoal. Semua jalan saja,” katanya.

Jika tak puas, maka mereka mempersilahkan untuk membawa hal tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Lalu oleh MK ditolak dengan alasan legal standing atau ditolak materinya. Dan
keputusan MK bersifat final. Selesai. Rakyat pun tidak bisa berbuat banyak.

“Lalu, di mana sebenarnya kedaulatan hakiki rakyat Indonesia sebagai pemilik sah negara ini? Dianggap apa sebenarnya rakyat ini? Dianggap sampah? Yang dibutuhkan suaranya 5 tahun sekali saja,” tanya LaNyalla.

Padahal, negara ini ada dan lahir karena adanya rakyat, bukan karena partai politik. Dan Partai politik baru masuk ke dalam sistem tata negara berdasarkan Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 3 November 1945.

“Inilah salah satu kecelakaan amandemen konstitusi 2002 silam,
yang memberi ruang terlalu besar kepada partai politik. Sehingga yang terjadi adalah hegemoni partai menjadi tirani baru, yang bekerja dengan pola zero sum game, di mana rakyat pada posisi yang kalah telak,” papar LaNyalla.

Oleh karenanya, di berbagai kesempatan LaNyalla selalu mengatakan jika demokrasi di Indonesia sejak amandemen telah berubah arti, karena bukan lagi; ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’, tetapi telah berubah menjadi; ‘dari rakyat, oleh partai,
dan untuk kekuasaan’.

Sementara DPD RI, sebagai peserta pemilu perseorangan, yang
merupakan representasi daerah, tidak memiliki kewenangan yang cukup
kuat dalam konstitusi.

“Sehingga praktis, unsur non-partisan atau kelompok non partai politik tidak memiliki ruang yang cukup di Senayan. Sangat berbeda dengan sistem yang dibentuk para pendiri bangsa kita, di mana di dalam MPR sebagai Lembaga Tertinggi, saat itu terdiri dari anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan,” urai LaNyalla.

Itu pun masih ditambah Fraksi ABRI, yang terdiri dari TNI dan Polri. Sehingga kedaulatan rakyat bukan hanya dimandatkan kepada politisi saja, tetapi
juga digawangi oleh utusan daerah, golongan-golongan dan TNI.

Kemudian semua komponen itu, menyusun arah perjalanan bangsa
melalui GBHN. Mereka juga mengajukan dan kemudian memilih presiden dan wakil presiden sebagai mandataris MPR untuk
menjalankan GBHN yang telah disusun.

“Sehingga presiden menjadi mandataris rakyat, alias petugas rakyat, bukan petugas partai. Ini sistem asli perwakilan dan permusyawaratan yang dibentuk oleh pemikiran luhur para pendiri bangsa kita. Sistem yang sesuai dengan watak dan DNA asli bangsa Indonesia,” tutur LaNyalla.

Namun, kata LaNyalla, kemudian kita memutuskan menjadi bangsa lain. Menjadi bangsa-bangsa barat, yang menggunakan demokrasi pemilihan langsung sebagai demokrasi prosedural.

“Menang-menangan angka. Dan rakyat adalah angka-angka itu. Dan rakyat hanya memiliki ruang evaluasi 5
tahun sekali melalui pemilu.
Nah, celakanya ruang evaluasi rakyat itu akan ditunda juga oleh partai politik,” demikian LaNyalla.(mk)

Leave A Reply

Your email address will not be published.