Di Peringatan HPN 2022, Ketua DPD RI Sorot Maraknya Deforestasi
JAKARTA, LNM – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengatakan puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 tidak hanya membicarakan tentang dunia jurnalis, tetapi juga mengangkat tema tentang lingkungan hidup.
Menurutnya, hal ini sejalan dengan Konferensi Tingkat Tinggi tentang
Perubahan Iklim atau COP26, yang digelar di Glasgow, Skotlandia,
November tahun lalu. Saat itu, negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, sepakat untuk mengurangi emisi karbon untuk mencegah perubahan iklim,
sekaligus untuk menurunkan pemanasan global.
“Mengingat, ancaman perubahan iklim diramalkan lebih berbahaya daripada Pandemi Covid-19, karena perubahan iklim tidak hanya berdampak kepada munculnya beragam pandemi penyakit, tetapi juga mengancam kepunahan bio-diversity dalam kehidupan ini,” kata LaNyalla saat mengikuti HPN 2022 di Universitas Trilogi Jakarta, Rabu (9/2/2022).
Pada kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi Senator Habib Ali Alwi (Banten) dan Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifuddin. Hadir pula Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria beserta jajaran, Guru Besar Universitas Bakrie Prof Hoga Saragih, Rektor Universitas Trilogi yang diwakili oleh Wakil Rektor Bidang Sumber Daya dan Kerja Sama, Kabul Wahyu Utomo, Ketua umum SMI Mahabiksu Jimmu Gunabhadra, Ketum Peduli Misi Desa Pendeta Amir Aritonang, Dewan Penguji UKW Dewan Pers Aat Surya Safaat, keluarga besar Jurnal Wicaksana Group, Poros Nusantara, Monitor Indonesia Group dan sejumlah tamu undangan lainnya.
Menurut LaNyalla, di sinilah pentingnya peranan insan pers nasional untuk
menyampaikan secara benar dan jelas kepada masyarakat tentang pentingnya upaya-upaya yang harus ditempuh untuk melakukan aksi dalam menghadapi ancaman perubahan iklim.
“Termasuk melakukan edukasi kepada masyarakat tentang tema-tema lingkungan hidup dan pentingnya menjaga pelestarian alam,” tuturnya.
LaNyalla melanjutkan, deforestasi atau penggundulan hutan di Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Dan hal ini bukan dilakukan oleh rakyat yang hidup di sekitar
hutan.
“Tetapi lebih banyak yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar yang mendapat konsesi lahan. Apakah itu perusahaan perkebunan, atau perusahaan pertambangan,” tegas dia.
Oleh karena itu, LaNyalla mendukung upaya presiden untuk mencabut izin konsesi dari beberapa perusahaan yang mendapat konsesi lahan.
Tetapi praktik di lapangan atas kebijakan tersebut harus diawasi. Apakah berjalan sesuai keinginan presiden, atau terjadi penyimpangan.
“Dan ini menjadi salah satu tugas jurnalis, terutama jurnalis lingkungan,” paparnya.
Ia menambahkan, masih banyak perusahaan besar yang bergerak di pertambangan dan perkebunan, yang tidak tertib dalam melakukan kewajiban
lingkungan.
Karena itu, banyak dijumpai bekas-bekas galian tambang yang menjadi danau-danau kecil akibat tidak dilakukan rehabilitasi pasca tambang. Banyak juga hutan lindung yang terkena pembukaan lahan perkebunan, dan beberapa persoalan lingkungan lainnya.
Tidak heran bila beberapa kawasan di Kalimantan mengalami bencana banjir. Karena dari catatan Wahana Lingkungan Hidup, pergerakan Deforestasi atas hutan terus terjadi dari tahun ke tahun.
“Hal ini tentu menjadi Ironi dan Paradoks dengan apa yang disepakati negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, dalam KTT Perubahan Iklim, di mana salah satu poin kesepakatannya adalah
Mengakhiri Deforestasi,” tegas dia.
Dan kesepakatan tersebut bukanlah hal baru. Karena sebelum KTT di Glasgow, enam tahun silam sudah disepakati perjanjian Paris, dengan isi yang sama.
Tetapi faktanya, Deforestasi masih terjadi. Bahkan dari laporan Greenpeace pada akhir tahun 2019 lalu, terdapat 3,12 juta hektare Kelapa Sawit ditanam di kawasan hutan atau sekitar 19 persen dari total luasan perkebunan Sawit di Indonesia, yaitu seluas 16,38 juta hektare.
Dan penanaman itu dilakukan di hampir semua kategori hutan. Mulai dari hutan taman nasional, suaka margasatwa, bahkan situs UNESCO yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Dan tahun 2021 lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengakui, ada 2,6 juta hektare perkebunan sawit di kawasan hutan yang tak mempunyai proses permohonan pelepasan kawasan hutan.
“Sekali lagi, ini harus menjadi perhatian insan pers nasional karena sesuai fungsi pers, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang salah satunya adalah menjadi alat kontrol,” katanya.
Apalagi jika dikaitkan dengan yang draf naskah akademik dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor, yang mengatakan perkebunan kelapa sawit dapat dimasukkan ke dalam kategori hutan industri.
“Padahal kita semua tahu, bahwa tanaman sawit jelas bukanlah
tanaman kehutanan, karena bercirikan monokultur. Sementara ciri hutan adalah keragaman pohon dengan berbagai strata yang menciptakan iklim
yang solid,” beber LaNyalla.(mk)