JAKARTA, LNM – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, berharap revolusi pemikiran mahasiswa menyentuh akar persoalan fundamental yang dihadapi bangsa.
Hal itu dikatakan LaNyalla pada acara ‘Sosialisasi Empat Pilar Pendidikan Dasar Resimen Mahasiswa 2021 Komando Resimen Mahasiswa Jakarta Raya’, Rabu (24/11/2021).
Senator asal Jawa Timur itu menerangkan, akar persoalan fundamental yang dihadapi bangsa ini yakni persoalan-persoalan yang ada di sektor hulu, bukan yang ada di wilayah hilir.
“Apalagi, Indonesia akan menghadapi era bonus demografi yang puncaknya akan terjadi di tahun 2045. Pada saat itu, akan terjadi ledakan jumlah penduduk usia produktif yang mendominasi hingga 70 persen dari populasi,” kata LaNyalla.
Dalam situasi tersebut, dibutuhkan lapangan pekerjaan yang mampu menyerap penduduk usia produktif tersebut. Sebab bila tidak, maka bukan bonus demografi yang didapat, tetapi bencana demografi.
“Karena harus diingat, bahwa era dis-rupsi akibat percepatan teknologi membawa konsekuensi terkait ketersediaan lapangan kerja. Sebab, pekerjaan yang ada hari ini, belum tentu bertahan di masa depan,” ujarnya.
Sebaliknya, pekerjaan yang tidak kita bayangkan hari ini akan menjadi pekerjaan yang lazim di masa mendatang.
“Jadi, masih banyak pekerjaan kita untuk membuat bangsa ini menjadi lebih baik ke depan. Termasuk memperbaiki sistem tata negara Republik ini,” tutur LaNyalla.
LaNyalla mengaku sedih jika berbicara mengenai Pancasila pada situasi hari-hari belakangan ini. Sebab, katanya, Pancasila seolah hanya dibicarakan di ruang-ruang seremoni dan upacara kenegaraan.
“Pancasila sudah tidak lagi membumi dan menjadi denyut nadi perjalanan bangsa ini,” tegas LaNyalla.
Bahkan, LaNyalla menyebut Indonesia hari ini telah berubah dan semakin menjauh dari DNA asli bangsa ini. Indonesia hari ini, khususnya setelah Amandemen Konstitusi di era Reformasi pada tahun 1999 hingga 2002, kita rasakan menjelma menjadi negara liberal kapitalistik.
“Ketidakadilan sosial semakin tergambar dengan jelas. Ketika negara melalui konstitusi dan peraturan perundangan memberi ruang bagi sekelompok orang untuk menumpuk kekayaan. Sehingga, hampir separuh kekayaan negara ini dikuasai oleh segelintir orang. Dan, kaum yang kaya semakin kaya dan yang miskin tetap saja miskin,” papar dia.
Dikatakannya, kelompok masyarakat miskin semakin menderita, ketika kerekatan sosial kita sebagai bangsa semakin tereduksi karena perubahan pola hidup di masyarakat. Nilai-nilai luhur gotong royong, saling asah, asih, asuh telah memudar, digantikan dengan nilai-nilai hedonis dan individualistik.
Semua media sosial hanya diisi dengan pamer harta dan gaya hidup hedon. Makan enak, belanja barang mahal, pamer harta dan kekayaan dan sejenisnya.
“Sungguh semakin melukai saudara-saudara kita yang kini masih menderita terdampak secara ekonomi akibat pandemi Covid,” ujarnya.
Di sinilah menurut LaNyalla pentingnya nilai-nilai kebangsaan yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini harus kita jadikan sebagai perekat kembali bangsa ini.
Karena itu, LaNyalla mengaku terus berkeliling dan menyuarakan hal ini ke semua elemen bangsa.
“Karena bagi saya, hari ini Pancasila ibarat badan tanpa jiwa, berjalan layaknya zombie. Ada, tetapi tidak menjadi ruh bangsa,” tegas dia.
Oleh karena itu, DPD RI memandang, wacana yang sekarang sedang bergulir tentang rencana Amandemen Konstitusi perubahan ke-5 harus dijadikan momentum untuk melakukan koreksi atas wajah dan arah perjalanan bangsa ini.
“Kita harus melakukan koreksi sistem tata negara Indonesia, sekaligus sistem ekonomi negara ini. Semua itu harus kita lakukan demi mewujudkan Indonesia yang lebih baik, yang mampu mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tutur LaNyalla.
Dipaparkan LaNyalla, amandemen pada tahun 1999 hingga 2002 saat itu juga memberikan ruang kuasa yang sangat besar kepada partai politik sebagai penentu utama wajah dan arah perjalanan negara ini.
“Padahal, negara ini dilahirkan oleh entitas civil society. Karena besarnya peran partai politik, mereka bersepakat melahirkan Undang-Undang Pemilu yang memberi ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden atau yang kita kenal dengan istilah Presidential Threshold,” ujar dia.
Presidential Treshold membuat bangsa ini dalam dua kali Pilpres hanya mampu menampilkan dua pasang calon yang berhadap-hadapan. Dampaknya, terjadi pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat di akar rumput.
Hal itu diperparah dengan semangat antarkelompok untuk selalu melakukan antitesa atas output pesan yang dihasilkan. Apakah itu dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi.
“Ditambah lagi dengan pola komunikasi elit politik yang juga mengedepankan kegaduhan, sehingga semakin lengkap pembelahan yang terjadi di masyarakat,” terang LaNyalla.
Puncaknya, anak bangsa ini secara tidak sadar membenturkan vis-à-vis Pancasila dengan agama. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat antitesa untuk menjelaskan identitas dan posisi.
“Padahal, tidak satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan agama. Pertanyaannya adalah, desain siapakah ini? Siapa yang berkepentingan atau siapa yang mengambil keuntungan dengan ricuhnya bangsa ini? Siapa yang mengambil manfaat dari lemahnya persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa?” tanya LaNyalla.
Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, bahwa wacana Amandemen perubahan ke-5 yang kini tengah bergulir harus menjadi momentum
untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa ini.
“Kita harus berani melakukan koreksi atas sistem tata negara Indonesia. Termasuk, sistem ekonomi negara ini. DPD RI akan sekuat tenaga memperjuangkan hal itu. Tentu DPD RI akan mendapatkan dorongan energi, bila mahasiswa Indonesia, khususnya para anggota Resimen Mahasiswa se-Indonesia menjadikan agenda Amandemen Konstitusi ke-5 sebagai momentum yang sama. Yaitu, momentum untuk melakukan koreksi atas arah Perjalanan bangsa,” ajak LaNyalla.(mk)