SURABAYA – Kebijakan pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dengan memperpanjang toleransi zero ODOL (Over Loade Over Dimensi) terhadap kendaraan yang beroperasi dengan pertimbangan seperti yang dikatakan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi bahwa diberikan agar para pelaku usaha siap dan tidak merasa dirugikan karena banyak munculnya ketidakpastian ekonomi global beberapa waktu belakangan ini. Hal tersebut dinilai Bambang Haryo Soekartono anggota DPR RI periode 2014-2019 suatu perbuatan yang sangat merugikan masyarakat, pasalnya ada keselamatan nyawa publik yang dipertaruhkan.
“Tidak sedikit persoalan ODOL menjadi momok di jalan raya yang berujung hilangnya nyawa pengguna jalan akibat kecelakaan. Jadi harusnya tidak ada lagi toleransi, harus tegas dengan pertimbangan yang lebih besar yaitu nyawa publik,” ujar Bambang, Kamis (5/3/20200.
Menurut Bambang, tidak bisa urusan nyawa publik dipertaruhkan gara-gara pertimbangan faktor ekonomi belaka, padahal berapa besarnya harta benda bila dibandingkan dengan nyawa tidak akan ada yang berani menukarnya.
“Masak, lantaran pertimbangan masalah ekonomi mengabaikan perlindungan masyarakat yang nyat-nyata dalam UUD 45 menjadi tanggung jawab negara untuk melindunginya. Kalau ekonomi itu kan masih bisa dicari kapan pun,” jelasnya.
Bambang yang juga sebagai penasehat Gapasdap (Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan) mengingatkan, ODOL pada haketnya tidak boleh ada toleransi lagi, tidak boleh ada tawar menawar karena menyangukut keselamatan nyawa publik . Dengan adanya ODOL maka infrastruktur kita bisa menjadi cepat rusak , dan kedaraan tersebut juga kurang bisa leluasa dikendalikan akibat beban berat muatannya sehingga mempengaruhi kelicahan manuver di jalan raya.
“Tak jarang kendaraan ODOL akan menghambat laju kendaraan bermotor di jalan raya, hal itu akan sangat mengganggu tidak hanya keselamatan pengguna jalan tetapi juga kenyamanan daripada transportasi karena jalan raya kurang lancar yang akan berdampak pada ekonomi. Yang lebih parah infrastruktur jalan jadi taruhannya,” kata Bambang.
Apalagi, lanjut Bambang, mundurkan ODOL sebagai langkah antisipasi penurunan perekonomian akibat adanya virus Corona yang menyeruak di semua belahan bumi menimbulakan pertanyaan, Apa hubungannya Corona dengan ODOL ?.
“Dengan ODOL mengakibat gas buang dari truk tersebut semakin tinggi yang akan merusak lingkungan, ini berarti nyawa publik menjadi taruhannya. Jadi kalau menyangkut nyawa publik jangan dikomperkan dengan ekonomi karena ekonomi itu tidak sebanding dengan nyawa publik,” ingat Bambang.
Harga dari sebuah nyawa itu, meski dibeli senilai satu anggaran APBN pun tidak akan ada yang mau. Jadi ini yang saya katakan bahwa nyawa publik nomor satu yang harus dilindungi. Sebagai gambaran, Saudi Arabia melarang seluruh jamaah umroh, haji dari seluruh dunia yang memberikan kontribusi terbesar devisanya dengan pertimbangan menyelamatkan nyawa publik meski harus kehilangan potensi pendapat jika dipandang dari sektor ekonomi.
“Sebab pemerintahnya sangat peduli pada nyawa publik makanya berani tegas menolah jamaah akibat adanya virus Corona untuk melindungi warganya,” seru Bambang.
Begitu juga negara Jepang, 50 persen berasal dari sektor pariwisata dengan sekitar 30 juta Turis yang berkunjung dan 15 juta lebih berasal dari China itu berani mengambil langkah menutup sementara kunjungan wisata sebagai langkah melindungi nyawa publiknya. Padahal akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian negaranya, tapi pemerintah Jepang bersikap tegas tidak memberi toleransi sedikitpun dan berani berkorban.
“Pada hal mereka tidak punya undang undang dasar seperti kita tapi kepedulian, tanggungjawab melindungi warga negaranya begitu besar,” imbuhnya.
Sekali lagi, Bambang menyampaikan kekecewaannya, lain halnya dengan yang terjadi di Republik ini, langkah yang telah diambil oleh Meteri Perhubungan dengan melakukan penundaan larangan truk Over Loade Over Dimensi (ODOL) hingga tiga tahun kedepan pada 2023 nanti. Ini bukti ketidak seriusan pemerintah menjalankan amanh Undang-Undang Dasar Negara yang melindungi seluruh warga negara.
“Nyawa publik diserahkan, Ini satu kesalah besar yang dilakukan kementerian Perhubungan yang memberi toleransi permintaan Kementerian perdagangan dan kementerian Industri lebih mengenyampingkan ODOL, padahal ekonomi itu masih bisa dicari ketimbang nyawa. Jangan sampai rakyat dikorbankan atas kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah,” ungkapnya.
Sementara itu, Penerapan jalan bebas kendaraan ODOL mengalami penundaan hingga 1 Januari 2023, dari sebelumnya tahun 2021 telah disampaikan Meneteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang sebelumnya melakukan Rapat Pembahasan Kebijakan Penanganan ODOL yang digelar Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ( PUPR) Basuki Hadimuljono bersama Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dan Direktur Gakkum Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri Brigjen Pol Kusharyanto di Kantor Kementerian PUPR, Jakarta, Senin (24/2/2020) lalu.
Menurut Budi Karya Sumadi, pemberlakuan jalan bebas ODOL dilakukan secara bertahap hingga tahun 2023 dengan pengecualian pada ruas Tol Priok-Cikampek-Bandung. Toleransi zero ODOL tersebut menurut Budi diberikan agar para pelaku usaha siap dan tidak merasa dirugikan karena banyak munculnya ketidakpastian ekonomi global beberapa waktu belakangan.
“Kebijakan pelarangan ODOL di ruas Tol Priok-Cikampek-Bandung tersebut berlaku untuk semua jenis kendaraan karena kita ingin meningkatkan produktivitas logistik dari Pelabuhan Tanjung Priok, karena di situ merupakan 60 persen dari total kegiatan logistik di Indonesia,” tutur Budi kepada wartawan seperti yang dilansir kompas.
Padahal, disisi lain, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ( PUPR) Basuki Hadimuljono mengungkapkan kendaraan ODOL yang beroperasi di jalan tol dan non-tol mengakibatkan biaya pemeliharaan melonjak hingga Rp 43,45 triliun per tahun. Tentu saja hal ini sangat merugikan pemerintah, operator jalan tol, pemerintah daerah (provinsi dan kota/kabupaten) dan meningkatkan risiko kecelakaan, serta inefisiensi akibat kondisi jalan rusak yang ditimbulkan.
Karena itu, menurut Basuki, Indonesia harus mampu mengendalikan kendaraan ODOL. Tanpa pengendalian, Kementerian PUPR akan kesulitan untuk menjaga kemantapan jalan di Indonesia sepanjang 541.217 kilometer. Dari total panjang tersebut 47.017 kilometer di antaranya merupakan jalan nasional non-tol dan 2.093 kilometer jalan tol yang sudah beroperasi dan merupakan tanggung jawab Kementerian PUPR.
” Jalan nasional dan jalan tol ini merupakan jalur-jalur vital yang menjadi urat nadi logistik dan perekonomian nasional,” kata Basuki beberapa waktu lalu.
Melihat itu, Bambang tidak habis pikir, satu sama lain sudah mengakui adanya dampak buruk akibat kendaraan ODOL tapi kenapa kok masih dilakukan rapat pembahasan bersama yang hasilnya harus dilakukan penundaan pelarangannya.
“Apa harus menunggu ada pejabatnya yang mengalami musibah akibat ODOL baru sadar,” pungkas Bambang. (die)