R. Mohammad Ali: Pidato Presiden Prabowo di PBB Angkat Martabat Diplomasi Indonesia
JAKARTA,LNM – Pidato Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Selasa, 23 September 2025, dinilai menorehkan babak baru dalam diplomasi Indonesia di kancah internasional.
Ketua Umum DPP LPKAN Indonesia, R. Mohammad Ali, menegaskan bahwa pidato tersebut bukan hanya berani menyentuh isu sensitif seperti kemerdekaan Palestina, tetapi juga mengingatkan dunia bahwa tragedi kemanusiaan akibat perang tidak bisa lagi dianggap sekadar “collateral damage” dari kepentingan geopolitik.
“Selama ini wajah dunia kerap dikendalikan negara-negara besar yang menggunakan standar ganda. Mereka cepat bereaksi saat kepentingannya terganggu, tetapi bungkam ketika jutaan rakyat sipil di belahan dunia lain menjadi korban. Tragedi Gaza, Suriah, Ukraina, hingga Sudan adalah cermin betapa kemanusiaan sering dikalahkan oleh kalkulasi politik,” ujar Mohammad Ali kepada awak media.
Indonesia melalui pidato Presiden Prabowo menawarkan paradigma alternatif: perdamaian berbasis kemanusiaan, bukan kekuatan senjata. Ia menegaskan, kemerdekaan Palestina adalah ujian moral global. Indonesia bahkan membuka peluang pengakuan Israel hanya jika negara itu terlebih dahulu mengakui kemerdekaan Palestina. Sikap ini menempatkan Indonesia sebagai suara moral dunia yang konsisten.
Resonansi Internasional
Pidato Presiden Prabowo memicu beragam reaksi di panggung global:
1. Negara-negara Timur Tengah
Dukungan kuat datang dari mayoritas negara Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Mereka menilai posisi Indonesia sebagai angin segar, karena tidak sekadar bersuara, tetapi juga menegaskan syarat keadilan yang konkret.
2. Negara Barat
Reaksi cenderung hati-hati. Sebagian negara Eropa menyambut baik ajakan perdamaian dari Indonesia, namun enggan menanggapi isu Palestina secara terbuka. Amerika Serikat tetap menekankan “two-state solution” tetapi tidak menanggapi keras pernyataan Indonesia, karena posisi Indonesia dianggap netral dan penting dalam menjaga stabilitas Indo-Pasifik.
3. Negara-negara berkembang dan Global South
Banyak negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin melihat Indonesia sebagai representasi suara mereka di forum global. Diplomasi Prabowo memperkuat solidaritas Selatan-Selatan, terutama dalam isu pangan, pengungsi, dan pembangunan pascakonflik.
4. Israel
Respons yang muncul bersifat defensif. Namun, syarat yang disampaikan Indonesia menempatkan Israel pada persimpangan: melanjutkan status quo atau membuka ruang dialog dengan prasyarat yang lebih adil.
Tantangan dan Harapan
Pidato tersebut tidak hanya mengangkat gengsi Indonesia di mata dunia, tetapi juga menegaskan peran strategis Indonesia sebagai kekuatan moral.
Namun, tantangan ke depan cukup besar: konsistensi politik luar negeri. Indonesia harus memastikan bahwa diplomasi humanis ini tidak berhenti sebagai retorika, melainkan diwujudkan dalam aksi nyata—mulai dari bantuan kemanusiaan, mediasi konflik, hingga diplomasi pangan global.
R. Mohammad Ali menegaskan apresiasinya atas pidato Presiden Prabowo:
“Sejarah tidak akan mengingat siapa yang memiliki senjata paling canggih, tetapi siapa yang mampu mencegah perang dan menyelamatkan manusia. Dan dalam momen ini, Indonesia melalui diplomasi Prabowo sedang menuliskan bab penting itu.”
Diplomasi Presiden Prabowo di forum PBB disebut sebagai refleksi amanat konstitusi: “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Jika konsisten dijalankan, pendekatan ini diyakini dapat menjadi solusi atas tragedi kemanusiaan akibat perang sekaligus kontribusi nyata Indonesia bagi dunia. (li)